Khilaf.
Aku ingin tertawa. Ingin sekali rasanya tertawa. Entahlah. Serasa semuanya bercampur bergitu saja, seperti tidak ada lagi yang bisa dielakkan. Aku hanya bisa mengakui ini semua telah terjadi. Iya. Telah terjadi. It's okay to be hurt, kamu hanya perlu menikmatinya. Hanya perlu dinikmati.
Semua orang punya salah, aku, kamu, kita, kalian, mereka, orang - orang, semuanya! Mau se bagaimana pun berusaha untuk bersih, tidak akan bisa. Kita tercipta, untuk melakukan kesalahan. Mulai yang diinginkan, hingga tidak diinginkan. Memang, sejatinya manusia seperti itu.
Hari ini pun begitu, aku menulis ini pagi hari, pukul 2 pagi kurang. Aku belum tidur, juga belum lepas dari semua gadget ku. Mendapatkan semacam peringatan kecil dari Tuhan. Tidak, bukan berupa musibah atau hal yang jelek. Hanya diingatkan oleh Tuhan, tentang masa laluku seperti apa. Aku tidak marah, hanya tertawa meringis kecil. Ingin lepas, tetapi tidak bisa, karena terlalu dini hari untuk melakukan hal itu.
Jejak digital itu berbahaya memang, mau dihapus, atau disembunyikan pun, suatu saat akan ketemu lagi. Pasti ada jalannya, meski kita tidak niat untuk mencari tahu, pasti ada cara dari Tuhan untuk mengingat kesalahan manis yang dulu - dulu. Dan kali ini, berasal dari postingan blog. Bukan blogku, tapi blog seseorang di masa lalu. Tidak perlu disebutkan, karena memang tidak seharusnya disebutkan.
Salah seorang teman bilang, bahwa baru saja dia mencariku di Google. Hanya mencari aja, biasanya kalau kita cari nama seseorang, pasti akan muncul sejarahnya. Entah itu berasal dari blog, Facebook, Twitter, atau sumber lainnya. Itu yang namanya jejak digital. Temanku menambahkan, kalau dia menemukan beberapa hal yang menarik dari postingan lama. Aku pun penasaran, lalu ku cari juga. Dan akhirnya ku temukan dia. Setelah sekian lama, tidak mau berurusan dengan hal itu lagi, lalu muncul namanya. Lucu kan? Sejauh apa pun kita berlari, kalau memang suatu saat ketemu, ya ketemu lagi. Entah, dalam bentuk apa.
Ku baca postingannya, cukup lama. Sekitar 3 - 4 tahun yang lalu. Ketika masa SMA terakhir. Ketika semua terasa mudah. Waktu itu. Aku sayang sama dia, sedikit berlebihan mungkin. Meski, tidak ada yang pernah menyetujui hubungan kita berdua. Dari pihak ku dan dia. Aku pun seharusnya segera menyadari hal tersebut. Tetapi, otak dan pikiranku sudah dimainkan dengan rasa egois dan keras kepala. Semua berlalu begitu saja. Lalu, jadi lah seperti sekarang ini. Chaos.
Kalau ditanya menyesal, jawabannya tentu iya. Aku tidak akan munafik, dan mengelak hal itu. Karena, kenyataan memang begitu. Aku sudah meminta maaf, secara langsung. Meski pun, belum tahu apakah dimaafkan dengan tulus atau tidak, tetapi aku sudah berusaha meminta maaf. Menyesal terlalu lama, tidak akan menyelesaikan masalah bukan? Yang menyelesaikan masalah itu, ketika seseorang tetap berjalan. Meskipun, tidak banyak yang bisa dilakukan, setidaknya seseorang tetap bergerak. Entah, ke yang lebih baik atau sebaliknya. Itu lebih baik, daripada hanya diam di tempat.
Aku menyadari satu hal, ketika membaca itu semua, kadang bodoh adalah kata yang paling pas untuk menggambarkan semuanya. Bodoh dalam menanggapi masalah. Bodoh dalam memahami kesalahan. Bodoh dalam mengakui segalanya. Bodoh. Mungkin, waktu itu, nama tengah yang pas adalah bodoh. Waktu itu. Ingin sekali, kembali ke masa itu dan memarahi diri sendiri. Tetapi, tidak semua keinginan harus tercapai kan? Cukup di terima, dan diakui. Lalu, aku minta maaf sekali lagi, terutama untukmu dan untukku sendiri. Terima kasih atas pelajarannya selama ini.
Komentar
Posting Komentar