Are We Good Enough?
Are We Good Enough? Or trying to feel good enough for the other?
Beberapa hari belakangan ini, banyak yang mengirimkan undangan pernikahan. Baik dalam bentuk fisik, atau pun hanya ajakan berupa e-mail sederhana. Entah itu teman yang cukup dekat, atau hanya sebatas kenal. Menyenangkan bukan mendengarkannya? Ayolah, kalau kamu dikirimi undangan pernikahan, pasti senangnya bukan main. Sayangnya, aku ingin merasakan hal itu juga, tetapi masih belum bisa.
Ada beberapa alasan, kenapa aku belum bisa merasakan hal itu, dan mungkin, ketika aku bercerita denganmu, ada sedikit saran yang bisa kamu bagikan untukku. Kamu mau, kan?
Pertama, setiap mendengarkan orang menikah, berarti orang itu sudah siap untuk melanjutkan hidupnya ke jenjang yang berikutnya. Iya, jenjang berikutnya, yang di mana mereka bersedia untuk berbagi satu sama lain. Baik dalam senang, susah, monoton, fluktuatif, atau apa pun yang bakalan terjadi nanti.
Kamu bisa bayangkan kan? Bagaimana? Terdengar menyenangkan dan menantang kan? Aku pun awalnya begitu, tetapi ketika dipikir sekali lagi, itu adalah hal terseram yang pernah dilakukan. Coba bayangkan, you let someone to know you more than what you are. Kamu mengizinkan semuanya, mulai dari janji, mimpi, harapan, pundak, peluk, cium, keluh kesah, dan semuanya! Bagaimana bisa egois seperti itu? Maksudku, bagaimana bisa kamu mempercayai hal itu, padahal kamu tahu, seburuk - buruknya percaya adalah dengan manusia. How can?
Lalu, keluarga. Kalau untuk perempuan, mungkin sedikit berbeda penerapannya, tetapi sebagai lelaki, ketika seorang menjadi kepala keluarga, berarti tanggung jawabnya lebih besar lagi. Mulai dari Ibu, adik perempuan (kalau ada) hingga keluarga sendiri. Bisa bayangkan, seberapa besar tanggung jawabnya? Sedangkan, terkadang manusia itu masih memiliki sifat egois, yang lebih sering mementingkan keperluan (atau mungkin keinginan sendiri), daripada harus menyelesaikan tugasnya. Tidak sedikit pula, ada yang terjadi cekcok antara anak dan orang tua karena belum bisa adil. I know that you know it too, right?
Terakhir, rasa takut. Setiap manusia pasti punya itu, baik aku, kamu, kita, mereka, semua makhluk di dunia pasti punya, tetapi setiap orang berbeda rasa takutnya. Rasa takut terbesarku adalah gagal. Hal ini bukan berarti aku belum pernah gagal, tetapi ketika kegagalan itu datang. Aku harus berusaha beberapa kali lebih keras. Mulai membereskan segalanya, usaha lebih keras, melakukannya sekali lagi, hingga berhasil. Bagaimana kalau itu terjadi dalam pernikahan? Iya kalau berakhir dengan baik, kalau sebaliknya?
Entah, mungkin ini termasuk pemikiran yang sangat egois, emosional, atau bahkan belum siap untuk menerima hal tersebut. Tenang, aku tidak akan mengelak, karena memang begitu adanya, tetapi benarkah? Apakah kita sudah cukup baik? Atau merasa cukup baik akan sesuatu?
Komentar
Posting Komentar