Teman Telpon
Aku termasuk orang yang tidak suka telefon. Kalau bisa lewat chat, ya aku selesaikan lewat itu saja. Karena dengan chat, aku bisa memanipulasi banyak hal. Seperti emosi, gaya bahasa, dan juga perasaanku saat itu. Sedangkan, telefon tidak bisa begitu. Tidak bisa. Hampir mirip dengan ketemu, cuma bedanya, kalau telefon bisa terbaca dari gaya kita berbicara. Eh, tapi itu kalau orangnya jago banget membaca suara sih.
Aku tahu itu kebiasaan buruk, karena dalam bentuk profesionalitas, aku selalu diharuskan untuk setidaknya minimal menelepon si klien. Iya, minimal sehari sekali, dan kalau bisa, memancing percakapan mengarah ke yang kita inginkan. Itu kalau bisa, kalau tidak bisa, setidaknya bikin nyaman.
Karena semua itu perlu latihan, maka aku memutuskan untuk berusaha menelepon beberapa orang, entah itu teman akrab, hingga stranger sekalian. Iya, konteksnya untuk profesionalitas. Tapi jujur saja, itu merepotkan sekali. Merepotkan sekali. Kalau dalam profesionalitas, kita dituntut berbicara yang penting saja, tanpa melibatkan perasaan. Kalau begitu ceritanya, bagaimana bisa membuat orang nyaman? Hmmm.
Aku senang sih, ada beberapa teman yang bisa memahami hal ini. Karena mereka juga tahu suka-duka dalam posisi ini. Mereka senantiasa menemaniku untuk mencari topik. Ada juga sih yang resek. Jadi percakapan seharusnya asyik, malah berujung pada pertanyaan yang menohok. Seperti, skripsi ataupun pertanyaan kapan menikah? Bukannya kenapa... tapi itu kan... pribadi....
Ya, overall, selama ini aku tetap berusaha untuk terus belajar sih. Setidaknya, semenjak aku latihan lewat telepon, aku mulai gampang tertawa dengan hal-hal sepele, tanpa melihat gesture lawan bicara. Menikmati gaya bicara orang yang cenderung berwarna, berusaha menerka apa yang ada dalam pikiran mereka, dan kalau beruntung, bisa nyaman lewat berbincang di telepon. Ah, indahnya belajar dengan bersenang-senang.
Komentar
Posting Komentar