We Can't Make Everybody Happy (Part 3)
We Can't Make Everybody Happy.
Kita tidak pernah bisa membahagiakan semua orang. Tidak pernah. Aku tahu hal tersebut dari dulu sekali, ketika masa SMA yang aku lalui cukup suram. Penuh dengan persekusi dan kejelekan lainnya. Sejak saat itu pula, aku memutuskan untuk membahagiakan orang yang paling penting menurutku. Sejak saat itu.
Membahagiakan orang yang paling penting dalam hidup itu cukup. Bisa jadi cukup mudah, bisa juga cukup susah. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kalau sama teman, cukup mudah, cukup datang sesuai janji dan bersenang-senang bersama. Cukup seperti itu. Kalau sama orang tua, lebih susah sedikit. Harus menuruti segala macam perintah orang tua, dan paling penting adalah mendengarkan nasehatnya. Karena, dalam prinsip keluargaku, nasihat orang tua adalah yang paling utama. Sedangkan pasangan, aku selalu gagal.
Membahagiakan pasangan itu selalu merepotkan. Susah sekali, dan banyak halangannya. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah mantanku. Cara membahagiakan pasangan itu banyak, dan hampir tidak masuk akal. Karena, hampir tidak pernah diterapkan secara langsung di keluargaku. Seperti bentuk perhatian, jujur saja, aku termasuk tipikal orang yang kurang memperhatikan sesuatu, kecuali hal tersebut sangat penting. Di keluargaku pun begitu, kurang memperhatikan satu sama lain. Hampir tidak ada waktu cerita bersama pun meningkatkan kesan hal tersebut.
Ada lagi, bertanya kabar. Aku hampir tidak pernah mengabari keluargaku dalam segala hal. Kecuali sesuatu yang sangat penting, seperti menyangkut keuangan keluarga dan sejenisnya. Selain itu, tidak pernah. Setiap masa PDKT pun begitu, tidak ada suatu bentuk yang memaksaku untuk bertanya kabar. Tidak ada. Bertanya tentang "sudah makan belum?" saja tidak pernah. Bagaimana bisa aku disebut perhatian? Hatiku kaku. Seperti batu es, yang sangat susah untuk dicairkan.
Menelpon pasangan merupakan hal yang lumrah, kalau bisa tiap hari mungkin. Hal itu tidak pernah terjadi dihidupku. Tidak pernah. Aku termasuk tipikal orang yang sangat anti dalam telpon. Banyak alasan, seperti harus berbicara lama dengan seseorang itu bisa membuatku lelah. Dan, ya semua awalnya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Tidak mempermasalahkan. Tapi, seiring berjalannya waktu pun berubah. Semua berubah, dan tuntutan pun makin banyak. Aku tidak mempermasalahkan itu, karena manusia pada dasarnya harus berubah untuk sesuatu yang lebih baik. Tetapi, haruskah dengan cara seperti itu? Memaksa untuk berubah tanpa mempertimbangkan faktor penyebabnya? Haruskah?
Mungkin, setelah aku melewati berbagai hal, khususnya tentang percintaan. Sepertinya, aku yang salah. Iya, salah dalam bersikap. Kurang perhatian, Tidak memberi yang seharusnya sepasang kekasih beri, lebih cuek daripada manusia kebanyakan, dan semuanya. Hatiku begitu kaku, mulutku begitu kasar, sifatku yang sedingin es, dan perilakuku yang membuat banyak orang mempermasalahkannya. Mungkin, itu semua alasannya. Mungkin, bukan dia yang salah. Mungkin. Kalau memang begitu adanya, biarkanlah aku introspeksi diri dulu. Biarkan aku. Biarkan.
Komentar
Posting Komentar