Dilema Penulis


Hidup itu penuh dilema. Apa pun itu bisa selalu dijadikan bahan untuk dilema. Ambil contoh saja yang sederhana, seperti enak mana, antara bubur yang diaduk atau tidak? Atau memilih makan mi kuah atau mi goreng? Selalu ada dilema di dalam setiap kesempatan. Selalu ada.

Aku pun sebenarnya lebih suka hidup sederhana, dan penulis adalah salah satu jawabannya. Kenapa? Karena dengan menjadi penulis, kita bisa menuliskan skenario seenak jidat kita. Iya, kita bisa bermain dengan kata-kata, sehingga para pembaca bisa mendapatkan pesan kita, meskipun yang kita tahu, setiap manusia memiliki cara pandangnya sendiri. Tapi tak masalah, setidaknya mereka mendapatkan garis besar yang aku inginkan. Setidaknya begitu.

Sebenarnya, masalah yang ada lebih kompleks lagi. Kalau misalnya menulis sesuatu yang non-fiksi, seperti berita atau sejenisnya, kita bisa menyampaikannya dengan mudah, karena berdasarkan fakta atau pengalaman yang pernah terjadi. Bisa juga, kita menempatkan diri kita sebagai pihak yang subjektif atau objektif. Banyak cara dalam hal ini. Tetapi, berbeda dengan penulisan fiksi. Berbeda metode yang digunakan.

Dalam menulis fiksi, ada beberapa tahapan penulisan. Seperti misalnya, mau menggunakan sudut pandang orang ke berapa? Ini penting, karena sudut pandang itu beragam, dan menyikapinya pun berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ini baru masalah yang pertama.

Untuk masalah ke dua, tentang cerita yang diangkat. Banyak sekali cerita yang diangkat itu beragam, tetapi polanya selalu sama. Temanku pernah bilang, kalau mau tulisan kita laku, maka bahaslah 3 hal ini, air mata, darah, dan sex. Iya, 3 hal itu merupakan variabel penting dalam menentukan, seberapa laku lukisan kita atau tidak ke depannya. Kalau tidak percaya, bisa kok lihat tulisanku di Wattpad yang paling ramai yang mana? Pasti tentang sex. Pasti.

Nah, karena itu, aku kan ingin membahas tentang sex lagi, tetapi tidak pernah semudah yang dilakukan pertama kali menulis. Aku perlu melakukan banyak hal sehingga bisa terwujud. Salah satunya adalah riset. Iya, perlu diadakan yang namanya riset dalam skala yang cukup masif sehingga menghasilkan tulisan yang aku benar-benar merasa 'ingin'.

Itu pula, yang mengingatkan bahwa menulis itu perlu usaha lebih. Lebih besar lagi, daripada pekerjaan yang lainnya. Baiklah, aku mengakui bahwa setiap pekerjaan ada kelebihan dan kekurangannya sendiri, tetapi kalau kamu mulai mencoba menulis sekali saja, akan selalu ada rasa lebih dan lebih lagi, karena selalu merasa, bahwa tulisan kita selalu kurang. Akan selalu.

Kalau boleh dijabarkan, proses menulis itu seperti ini. Mudah - mudah - sedikit susah - susah banget - susah sangat - nyaris menyerah - eh tapi kangen menulis lagi - belajar lagi - stres lagi karena susah - istirahat sebentar - tulis lagi sampai merasa puas. Bagaimana? Terdengar seperti seorang masokis kan? Ya begitulah kami, suka sekali menyiksa diri sendiri :(

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi berakhiran U

Saat Mimpimu Lebih Besar Daripada Sebelumnya | 14 Januari 2020

Pecel Lele | Puisi